ABDURRAHMAN A Hunalapa mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Berkat ketekunan belajar, Rahman selangkah lagi akan menjadi dosen. Padahal ia mempunyai pengalaman hidup yang cukup pahit.
Sekitar 13 tahun silam, Rahman nekat pergi ke Malaysia tanpa melalui jalur resmi. Rahman berangkat ke Pantai Mersing Malaysia pukul 00.00 malam. Ide nekat itu ke diprakarsai oleh pamannya. “Saya berangkat bersama 30 kawan-kawannya, mereka berangkat dari Teluk Mata Ikan Nongsa,” ujar Rahman kepada Tribun, Rabu (23/12).
Pejalanan dari Nongsa ke pantai Mersing Johor ditempuh selama tiga jam. Badai dan ombak yang tinggi tidak mematahkan semangat mereka. Begitu juga dengan laut Cina Selatan yang dilalui, ia akhirnya tiba di tujuan, Pantai Mersing.
Sesampainya di bibir Pantai Mersing, tekong kapal menyuruh Rahman dan teman-temannya terjun ke laut. Padahal kedalaman laut mencapai satu meter. Begitu tekong kapal menurunkan gelap, ia langsung kabur.
Dari dataran pantai Mersing, beberapa orang Indonesia yang sudah bermukim di Malaysia segera menjemputnya. Mereka kemudian dituntun menyusuri hutan payau dalam kegelapan malam.
Perjalanan sejauh 4 km itu membuat kaki Rahman lecet dan sakit. Berkeyakinan akan mendapatkan pekerjaan, apa pun resikonya disanggupinya. Sesampainya di Kebun Bunga Batu Lima, ia dan kawan-kawannya tidur di atas hutan payau.
Barulah keesokan harinya Rahman bekerja di salah seorang pengusaha tahu. Di kota Tinggi Taman Kota Jaya ia dipercaya sebagai tukan masak tahu. Tiga bulan memegang pabrik tahu, omsetnya mencapai jutaan ringgit. Sehingga ia dipercaya untuk mengelola usaha tersebut.
Hingga dua tahun menjadi seorang yang ahli di bidang tahu, saat itu gajinya mencapai 1000 ringgit. Bos merasa senang dan bangga. Lalu dibelikan sepeda motor dan disuruhnya ia tinggal di rumah yang mewah.
Baginya yang berharga, si bos membuatkan paspor dan menguruskan semua dokumennya. Sehingga dengan memiliki surat-surat resmi ia tidak diburu lagi oleh Polisi Diraja Malaysia (PDRM).
Dua tahun di Malaysia membuatnya rindu kepada kampung halaman. Ia memutuskan pulang ke kampung berbekal uang sekitar Rp 50 juta tahun 1998.
Sampai di Tanjung Uma, ia langsung membeli rumah dan sepeda motor. Kemudian membangun sebuah kedai makan. Usahanya pun semakin laris dan melejit. Sehingga Salma Ansari, kakak kandungnya ia suruh untuk mengelola.
Kemudian ia pulang ke Lembata, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berkumpul dengan keluarga selama dua bulan. Dari hasil pekerjaan selama di Malaysia, dia bisa membangun rumah orang tuanya.
Merasa tidak memiliki penghasilan di kampungnya, Rahman akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja di Negeri Jiran. Dia pun langsung mendatangi toke lamanya untuk diterima kembali bekerja membuat tahu.
Karena telah memiliki dokumen resmi dan mendapat izin bekerja selama dua tahun, Rahman tidak lagi menetap selamanya untuk bekerja. Namun setiap tujuh hari sekali dia kembali lagi ke kediamannya di Tanjung Uma Batam.
Begitu juga sebaliknya maksimal selama tujuh hari berada di Batam, dia kembali lagi ke Malaysia untuk bekerja. Hal ini dilakukan dia selama dua tahun sesuai dengan izin kerja yang diberikan pemerintah Malaysia.
Memasuki awal tahun 2003 dia mendapat tawaran menjadi guru SD Negeri dari salah satu guru yang diketahui bernama Yurnalis. Awalnya dia menolak tawaran tersebut karena tidak memiliki latar belakang pendidikan menjadi guru.
Namun Yurnalis meyakinkannya bahwa dia pasti bisa untuk menjadi guru karena dia pernah mengikuti pelatihan atau kursus sebagai pendidik di kampung halamannya.
Rahman pun menerima tawaran tersebut dia pun dipercayai untuk menjadi wali kelas hingga sekarang. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, untuk menambah ilmunya dia langsung kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ibnu Sina mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam.
Sekitar 13 tahun silam, Rahman nekat pergi ke Malaysia tanpa melalui jalur resmi. Rahman berangkat ke Pantai Mersing Malaysia pukul 00.00 malam. Ide nekat itu ke diprakarsai oleh pamannya. “Saya berangkat bersama 30 kawan-kawannya, mereka berangkat dari Teluk Mata Ikan Nongsa,” ujar Rahman kepada Tribun, Rabu (23/12).
Pejalanan dari Nongsa ke pantai Mersing Johor ditempuh selama tiga jam. Badai dan ombak yang tinggi tidak mematahkan semangat mereka. Begitu juga dengan laut Cina Selatan yang dilalui, ia akhirnya tiba di tujuan, Pantai Mersing.
Sesampainya di bibir Pantai Mersing, tekong kapal menyuruh Rahman dan teman-temannya terjun ke laut. Padahal kedalaman laut mencapai satu meter. Begitu tekong kapal menurunkan gelap, ia langsung kabur.
Dari dataran pantai Mersing, beberapa orang Indonesia yang sudah bermukim di Malaysia segera menjemputnya. Mereka kemudian dituntun menyusuri hutan payau dalam kegelapan malam.
Perjalanan sejauh 4 km itu membuat kaki Rahman lecet dan sakit. Berkeyakinan akan mendapatkan pekerjaan, apa pun resikonya disanggupinya. Sesampainya di Kebun Bunga Batu Lima, ia dan kawan-kawannya tidur di atas hutan payau.
Barulah keesokan harinya Rahman bekerja di salah seorang pengusaha tahu. Di kota Tinggi Taman Kota Jaya ia dipercaya sebagai tukan masak tahu. Tiga bulan memegang pabrik tahu, omsetnya mencapai jutaan ringgit. Sehingga ia dipercaya untuk mengelola usaha tersebut.
Hingga dua tahun menjadi seorang yang ahli di bidang tahu, saat itu gajinya mencapai 1000 ringgit. Bos merasa senang dan bangga. Lalu dibelikan sepeda motor dan disuruhnya ia tinggal di rumah yang mewah.
Baginya yang berharga, si bos membuatkan paspor dan menguruskan semua dokumennya. Sehingga dengan memiliki surat-surat resmi ia tidak diburu lagi oleh Polisi Diraja Malaysia (PDRM).
Dua tahun di Malaysia membuatnya rindu kepada kampung halaman. Ia memutuskan pulang ke kampung berbekal uang sekitar Rp 50 juta tahun 1998.
Sampai di Tanjung Uma, ia langsung membeli rumah dan sepeda motor. Kemudian membangun sebuah kedai makan. Usahanya pun semakin laris dan melejit. Sehingga Salma Ansari, kakak kandungnya ia suruh untuk mengelola.
Kemudian ia pulang ke Lembata, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berkumpul dengan keluarga selama dua bulan. Dari hasil pekerjaan selama di Malaysia, dia bisa membangun rumah orang tuanya.
Merasa tidak memiliki penghasilan di kampungnya, Rahman akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja di Negeri Jiran. Dia pun langsung mendatangi toke lamanya untuk diterima kembali bekerja membuat tahu.
Karena telah memiliki dokumen resmi dan mendapat izin bekerja selama dua tahun, Rahman tidak lagi menetap selamanya untuk bekerja. Namun setiap tujuh hari sekali dia kembali lagi ke kediamannya di Tanjung Uma Batam.
Begitu juga sebaliknya maksimal selama tujuh hari berada di Batam, dia kembali lagi ke Malaysia untuk bekerja. Hal ini dilakukan dia selama dua tahun sesuai dengan izin kerja yang diberikan pemerintah Malaysia.
Memasuki awal tahun 2003 dia mendapat tawaran menjadi guru SD Negeri dari salah satu guru yang diketahui bernama Yurnalis. Awalnya dia menolak tawaran tersebut karena tidak memiliki latar belakang pendidikan menjadi guru.
Namun Yurnalis meyakinkannya bahwa dia pasti bisa untuk menjadi guru karena dia pernah mengikuti pelatihan atau kursus sebagai pendidik di kampung halamannya.
Rahman pun menerima tawaran tersebut dia pun dipercayai untuk menjadi wali kelas hingga sekarang. Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, untuk menambah ilmunya dia langsung kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ibnu Sina mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam.
Usai tamat kuliah tahun 2007. Rahman kembali ditawarkan menjadi asisten dosen oleh M Faisal salah satu dosen STAI Ibnu Sina. Sejak dia diangkat menjadi asisten dosen tahun 2008, Rahmam tidak menyangka bisa menjadi guru SD dan asisten dosen sampai saat ini. (by Jubron Fahirro, Kamis, 24 Desember 2009)