AWALNYA, pria kelahiran Bengkulu 7 Juli 1968 itu bukan seorang pengusaha. Ia pernah bekerja sebagai penyedia barang perusahaan Bakrie Brothers.
Karirnya sempat bagus namun kemudian banyak tuntutan pekerjaan yang dianggap di luar kesanggupannya. Tahun 1995 ia mengundurkan diri dan memulai bisnis supplier kulit di Bali.
Usaha dari suami Hj Yulia Kartika Sari sempat meraih kejayaan. Dalam 11 tahun ia mampu mencapai omzet miliaran rupiah. Namun tragedi bom Bali 12 Oktober 2002, membuat usahanya gulung tikar.
"Apa yang terjadi pada diri kita merupakan takdir yang menjadi rahasia Allah. Kita harus terima dengan pasrah dengan rasa iman dan tauhid yang benar," ujarnya beberapa waktu lalu.
Saat itu ia benar-benar terpuruk sampai harus menggunakan sepeda motor karena tak mampu membayar kredit mobil. Ia sempat menjual dua unit televisi senilai Rp 1 juta untuk biaya hidup dan keperluannya.
Sengsara mendatangkan hikmah. Dalam keadaan serba susah itulah muncul ide menyulap garasi rumahnya menjadi sebuah warung.
Namun itu tidak berjalan mulus. Pernah suatu hari anaknya menangis minta dibelikan es krim seharga Rp 1.500, namun ia tidak mampu membelinya karena tak punya uang sama sekali.
Akhirnya ia mengadu kepada kakaknya. Sang kakak yang terenyuh akhirnya memberikan sedikit uang dan satu unit handphone. Edy pun sangat bahagia karena bisa pulang membelikan es krim untuk anaknya.
Dari handphone itu juga ia mulai bangkit kembali. Ia mengirimkan pengumuman di koran melalui pesan pendek atau SMS bahwa ia membutuhkan supplier. Esok harinya, ada seorang supplier pakaian menghubunginya dan memintanya untuk menjualkan pakaian-pakaian miliknya.
Namun ia tidak bertahan lama. Mulailah Edy bergabung dengan bisnis orang tuanya sebagai pemasok barang-barang ke Singapura, sekaligus sebagai penagih hasil penjualan.
Dengan seringnya bolak-balik ke Singapura, ia mulai tertarik dengan Batam. Pernah sekali ia melihat situasi dan kondisi perekonomian di Batam. Setelah meminta pandangan dan nasihat dari orang tuanya, tahun 2005 Edy memutuskan untuk hijrah ke Batam.
Awalnya kondisi tidak begitu bagus. Semua barang yang ia bawa dari Bandung kemudian ia jual. Setelah dipotong ongkos dan lain-lain, sisa uangnya tinggal Rp 2 juta. Uang tersebut ia gunakan untuk mengontrak rumah di sekitar Sei Panas. Namun ia sempat memiliki hutang kos sebulan.
"Itulah saat yang paling pahit bagi kami. Saya tidak punya kasur sehingga anak-anak harus tidur di lantai beralaskan baju-baju yang saya masukkan ke dalam sarung. Tidak ada air minum dan makanan karena kami tidak memiliki kompor untuk memasak," kenangnya lirih. Namun saat itu pula ia membuang jauh-jauh perasaan ego dan malu. Ia berniat bekerja asalkan halal.
Saat pergi ke Tanjung Sengkuang, ia berkenalan dengan Pak Daeng, seorang pemilik toko perabotan seken. Dari perkenalan itu, Pak Daeng menyuruhnya membawa dua buah kasur tanpa harus memikirkan pembayarannya. Kasur inilah yang membuat anak-anaknya tidak tidur di lantai lagi.
Selama di Batam Edy mencoba berwirausaha. Mulai dari jualan gorengan di depan kantor imigrasi Batam, dan membantu seorang calo untuk menulis berkas-berkas pembuatan paspor. Setiap satu berkas ia mendapat honor Rp 15 ribu. Begitu juga dengan temannya yang memberikan satu kardus mie instan untuk ia dan keluarganya makan. Sehingga makanan favorit keluarganya mie instan.
Dari hasil uang itu, ia mengumpulkan dan sedikit demi sedikit untuk menyewa sebuah kios di DC Mall. Kios tersebut ia isi dengan baju-baju muslim untuk anak-anak. Setelah baju terjual, usahanya tidak ia teruskan lagi, sebab labanya sudah ia gunakan untuk keperluan sehari-hari.
Ia beralih ke usaha makanan. Namun ia dikomplain oleh pengelola karena tempat tersebut bukanlah untuk usaha jual beli makanan. Kemudian seorang teman mengajak membuka warung makan di Batam Centre. Lalu ia membangun dengan memberikan nama Saung Sunda Sawargi.
Di tempat usahanya yang lama banyak kenangan, dari situlah ia juga mendapatkan kepuasan batin. Di tempat tersebut, ia mulai berkenalan dengan orang-orang hebat, seperti pengusaha, pejabat, dan artis.
Inilah perjalanan hidup Edy, kemarin ia bekerja dengan orang lain saat ini ia berusaha sendiri. Menurut Edy, hidup ini harus diserahkan sama Allah. Terus terang ia mengatakan kalau tidak ada anak-anak dan isteri mungkin ia tidak sanggup menghadapi cobaan ini.
Dengan usaha saat ini, Edy sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Ia sudah bisa mengendarai mobil dan membeli rumah sendiri di perumahan mewah Centre Point Batam Centre. Saat ini usaha restorannya memiliki dua cabang yaitu di Seraya dan Pelita. Konsep usahanya pun menawarkan makanan khas sunda. (Kamis, 3 Desember 2009, by Jubron Fahirro)
Karirnya sempat bagus namun kemudian banyak tuntutan pekerjaan yang dianggap di luar kesanggupannya. Tahun 1995 ia mengundurkan diri dan memulai bisnis supplier kulit di Bali.
Usaha dari suami Hj Yulia Kartika Sari sempat meraih kejayaan. Dalam 11 tahun ia mampu mencapai omzet miliaran rupiah. Namun tragedi bom Bali 12 Oktober 2002, membuat usahanya gulung tikar.
"Apa yang terjadi pada diri kita merupakan takdir yang menjadi rahasia Allah. Kita harus terima dengan pasrah dengan rasa iman dan tauhid yang benar," ujarnya beberapa waktu lalu.
Saat itu ia benar-benar terpuruk sampai harus menggunakan sepeda motor karena tak mampu membayar kredit mobil. Ia sempat menjual dua unit televisi senilai Rp 1 juta untuk biaya hidup dan keperluannya.
Sengsara mendatangkan hikmah. Dalam keadaan serba susah itulah muncul ide menyulap garasi rumahnya menjadi sebuah warung.
Namun itu tidak berjalan mulus. Pernah suatu hari anaknya menangis minta dibelikan es krim seharga Rp 1.500, namun ia tidak mampu membelinya karena tak punya uang sama sekali.
Akhirnya ia mengadu kepada kakaknya. Sang kakak yang terenyuh akhirnya memberikan sedikit uang dan satu unit handphone. Edy pun sangat bahagia karena bisa pulang membelikan es krim untuk anaknya.
Dari handphone itu juga ia mulai bangkit kembali. Ia mengirimkan pengumuman di koran melalui pesan pendek atau SMS bahwa ia membutuhkan supplier. Esok harinya, ada seorang supplier pakaian menghubunginya dan memintanya untuk menjualkan pakaian-pakaian miliknya.
Namun ia tidak bertahan lama. Mulailah Edy bergabung dengan bisnis orang tuanya sebagai pemasok barang-barang ke Singapura, sekaligus sebagai penagih hasil penjualan.
Dengan seringnya bolak-balik ke Singapura, ia mulai tertarik dengan Batam. Pernah sekali ia melihat situasi dan kondisi perekonomian di Batam. Setelah meminta pandangan dan nasihat dari orang tuanya, tahun 2005 Edy memutuskan untuk hijrah ke Batam.
Awalnya kondisi tidak begitu bagus. Semua barang yang ia bawa dari Bandung kemudian ia jual. Setelah dipotong ongkos dan lain-lain, sisa uangnya tinggal Rp 2 juta. Uang tersebut ia gunakan untuk mengontrak rumah di sekitar Sei Panas. Namun ia sempat memiliki hutang kos sebulan.
"Itulah saat yang paling pahit bagi kami. Saya tidak punya kasur sehingga anak-anak harus tidur di lantai beralaskan baju-baju yang saya masukkan ke dalam sarung. Tidak ada air minum dan makanan karena kami tidak memiliki kompor untuk memasak," kenangnya lirih. Namun saat itu pula ia membuang jauh-jauh perasaan ego dan malu. Ia berniat bekerja asalkan halal.
Saat pergi ke Tanjung Sengkuang, ia berkenalan dengan Pak Daeng, seorang pemilik toko perabotan seken. Dari perkenalan itu, Pak Daeng menyuruhnya membawa dua buah kasur tanpa harus memikirkan pembayarannya. Kasur inilah yang membuat anak-anaknya tidak tidur di lantai lagi.
Selama di Batam Edy mencoba berwirausaha. Mulai dari jualan gorengan di depan kantor imigrasi Batam, dan membantu seorang calo untuk menulis berkas-berkas pembuatan paspor. Setiap satu berkas ia mendapat honor Rp 15 ribu. Begitu juga dengan temannya yang memberikan satu kardus mie instan untuk ia dan keluarganya makan. Sehingga makanan favorit keluarganya mie instan.
Dari hasil uang itu, ia mengumpulkan dan sedikit demi sedikit untuk menyewa sebuah kios di DC Mall. Kios tersebut ia isi dengan baju-baju muslim untuk anak-anak. Setelah baju terjual, usahanya tidak ia teruskan lagi, sebab labanya sudah ia gunakan untuk keperluan sehari-hari.
Ia beralih ke usaha makanan. Namun ia dikomplain oleh pengelola karena tempat tersebut bukanlah untuk usaha jual beli makanan. Kemudian seorang teman mengajak membuka warung makan di Batam Centre. Lalu ia membangun dengan memberikan nama Saung Sunda Sawargi.
Di tempat usahanya yang lama banyak kenangan, dari situlah ia juga mendapatkan kepuasan batin. Di tempat tersebut, ia mulai berkenalan dengan orang-orang hebat, seperti pengusaha, pejabat, dan artis.
Inilah perjalanan hidup Edy, kemarin ia bekerja dengan orang lain saat ini ia berusaha sendiri. Menurut Edy, hidup ini harus diserahkan sama Allah. Terus terang ia mengatakan kalau tidak ada anak-anak dan isteri mungkin ia tidak sanggup menghadapi cobaan ini.
Dengan usaha saat ini, Edy sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Ia sudah bisa mengendarai mobil dan membeli rumah sendiri di perumahan mewah Centre Point Batam Centre. Saat ini usaha restorannya memiliki dua cabang yaitu di Seraya dan Pelita. Konsep usahanya pun menawarkan makanan khas sunda. (Kamis, 3 Desember 2009, by Jubron Fahirro)