Duduklah seorang pemuda tepekur di antara batu-batu nisan.
Wajahnya menegadah ke atas langit. Sesekali melihat ke gundukan bebatuan
nisan. Sambil memegang tasbih seakan-akan dia melafazkan doa-doa.
Kupandangi dia dari kejauhan. Kuperhatian setiap gerakan yang
dilakukan. Selama sejam bersila. Terkadang mengusap nisan dan memutar
tasbihnya. Awan putihpun bergulung-gulung di atas kepalanya. Angin
sepoi-sepoi berembus.
Siang itu terasa gersang. Sepi terasa mati. Tiba-tiba awan berubah gelap. Mendung tak terbendung, gelap tak terkecap. Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menengadahkan tangannya ke langit.
Kukepalkan tangan kananku di telinga sebelah kanan membentuk sebuah lingkaran untuk mendengarkan apa-apa yang diucapkan pemuda itu. Sayup-sayup kudengar dan hatiku berdebar-debar.
“Tuhan, kulihat ratusan batu nisan. Ada yang putih dan kecoklatan. Batu usang dan muda jadi satu dalam penglihatan. Aku tak tahu di mana kuburan orang kaya atau miskin. Juga kuburan pejabat atau penjahat. Begitu juga kuburan orang salih, penyamun, atau mereka yang mati bunuh diri. Tapi aku yakin ini kuburan temanku itu,” ujarnya lirih.
Kuperhatikan dengan seksama, pemuda itu kemudian duduk sambil mengusap batu nisan yang ada di depannya. Kemudian berkata-kata sambil menitikan air mata.
“Aku dulu mengenalmu ketika masih miskin. Lalu kita bekerja sama dan kamu menjadi orang yang kaya. Lama aku tak menjumpaimu ketika kamu masih hidup, karena aku takut mengusik kekayaanmu. Kutahu ketika masih hidup, banyak orang memuji-muji dan mengagungkanmu,” katanya lirih.
Tidak lama mendung menjadikan siang itu gelap. Gerimis mulai turun. Pemuda itu melanjutkan perkataannya lagi tanpa menghiraukan air hujan yang mulai membasahi pakaiannya.
“Ketika kamu dulu masih hidup, aku ingat. Hujan pernah sekali membasahi tubuhmu, lalu pengawal-pengawal itu segera mengeringkannya. Kini tak kulihat payung atau pengawal yang melindungimu dari hujan. Hanya sebagian tubuhku saat ini yang menutupi tempat tidur panjangmu,” ujarnya.
Dilanjutkannya lagi: “Aku sudah memaafkanmu, bahkan jauh hari sebelum kita berpisah aku sudah memaafkanmu karena aku tak pernah memiliki iri atau sakit hati. Jika sakit hati, tentu aku tidak akan menjumpaimu di kuburan ini,” katanya sambil mengusap air hujan yang membasahi wajahnya.
Hujan semakin deras disertai halilintar bersahut-sahutan. Pemuda itu tetap duduk sambil tangan kananannya meremas-remas tanah makam. Akupun berlindung di balik pepohonan untuk menghindari terpaan derasnya air hujan.
Kulihat pemuda itu menunduk dan diam. Lalu berkata dengan sedikit keras: “Wahai bumi, engkau lumat jasad orang yang sudah mati, namun tidak bagi jasad para nabi dan mereka yang jihad. Engkau naungi mereka yang hafiz alquran,” katanya.
“Hari ini aku melihat kalian semua yang sudah mati menunggu hari kebangkitan. Aku tidak mendengar apa yang kalian rintihkan. Pun dengan kehadiranku, kalian pasti mendengar aku sedang berada di atas sini dan mengerti apa yang sudah kuucapkan tadi,” lanjut pemuda itu. (bagian pertama)
Siang itu terasa gersang. Sepi terasa mati. Tiba-tiba awan berubah gelap. Mendung tak terbendung, gelap tak terkecap. Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menengadahkan tangannya ke langit.
Kukepalkan tangan kananku di telinga sebelah kanan membentuk sebuah lingkaran untuk mendengarkan apa-apa yang diucapkan pemuda itu. Sayup-sayup kudengar dan hatiku berdebar-debar.
“Tuhan, kulihat ratusan batu nisan. Ada yang putih dan kecoklatan. Batu usang dan muda jadi satu dalam penglihatan. Aku tak tahu di mana kuburan orang kaya atau miskin. Juga kuburan pejabat atau penjahat. Begitu juga kuburan orang salih, penyamun, atau mereka yang mati bunuh diri. Tapi aku yakin ini kuburan temanku itu,” ujarnya lirih.
Kuperhatikan dengan seksama, pemuda itu kemudian duduk sambil mengusap batu nisan yang ada di depannya. Kemudian berkata-kata sambil menitikan air mata.
“Aku dulu mengenalmu ketika masih miskin. Lalu kita bekerja sama dan kamu menjadi orang yang kaya. Lama aku tak menjumpaimu ketika kamu masih hidup, karena aku takut mengusik kekayaanmu. Kutahu ketika masih hidup, banyak orang memuji-muji dan mengagungkanmu,” katanya lirih.
Tidak lama mendung menjadikan siang itu gelap. Gerimis mulai turun. Pemuda itu melanjutkan perkataannya lagi tanpa menghiraukan air hujan yang mulai membasahi pakaiannya.
“Ketika kamu dulu masih hidup, aku ingat. Hujan pernah sekali membasahi tubuhmu, lalu pengawal-pengawal itu segera mengeringkannya. Kini tak kulihat payung atau pengawal yang melindungimu dari hujan. Hanya sebagian tubuhku saat ini yang menutupi tempat tidur panjangmu,” ujarnya.
Dilanjutkannya lagi: “Aku sudah memaafkanmu, bahkan jauh hari sebelum kita berpisah aku sudah memaafkanmu karena aku tak pernah memiliki iri atau sakit hati. Jika sakit hati, tentu aku tidak akan menjumpaimu di kuburan ini,” katanya sambil mengusap air hujan yang membasahi wajahnya.
Hujan semakin deras disertai halilintar bersahut-sahutan. Pemuda itu tetap duduk sambil tangan kananannya meremas-remas tanah makam. Akupun berlindung di balik pepohonan untuk menghindari terpaan derasnya air hujan.
Kulihat pemuda itu menunduk dan diam. Lalu berkata dengan sedikit keras: “Wahai bumi, engkau lumat jasad orang yang sudah mati, namun tidak bagi jasad para nabi dan mereka yang jihad. Engkau naungi mereka yang hafiz alquran,” katanya.
“Hari ini aku melihat kalian semua yang sudah mati menunggu hari kebangkitan. Aku tidak mendengar apa yang kalian rintihkan. Pun dengan kehadiranku, kalian pasti mendengar aku sedang berada di atas sini dan mengerti apa yang sudah kuucapkan tadi,” lanjut pemuda itu. (bagian pertama)